Selasa, 24 Desember 2013

Emang kita harus diuji ya?


                Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar teman-teman semua? Semoga selalu berada dalam lindungan-Nya. Dalam ketetapan hati pada keimanan yang hakiki tanpa takut pada semua cobaan dan ujian dari Allah swt. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita nabi Allah, Muhammad saw., sahabat, dan keluarganya. Semoga hidayah selalu mengiringi langkah-langkah kita. Aamiin...
Pernah ngga teman-teman merasa sedang berada dalam ujian Allah? Pernah ngga mengatakan kalau itu adalah ujian? Alhamdulillah kalau seandainya “iya”, karena hanya orang-orang yang berimanlah yang mengetahui bahwa ia sedang diuji. Ujian itu ternyata bukan hanya saat kita kesusahan, misalnya: ditimpa bencana alam, kehilangan orang tua, atau tidak punya beras untuk dimakan. Melainkan juga, saat kita senang, misalnya mendapat juara di kelas, terlahir dari keluarga kaya dan serba berkecukupan, dikaruniai wajah yang ganteng/cantik ternyata juga adalah ujian. Bahkan ujian pada jenis ini adalah yang terberat loh. Mengapa? Karena saat kita berada dalam zona kebahagiaan dan serba tercukupi segala kebutuhan kadangkala kita lupa siapa yang memberinya. Lupa bersyukur, lupa mengingat, dan yang parahnya kadangkala merasa menjadi yang terhebat di antara makhluk, nauzubillah....

Rabu, 18 Desember 2013

Sebuah Resensi Sebuah Pembelajaran...

 
Mengulum Dendam Dari Tanjung Bira Hingga Mahameru
 (Pencapaian Hati di Puncak Tertinggi)

Biodata Buku : 
Judul               : Altitude 3676 Takhta Mahameru
Penulis             : Azzura Dayana
ISBN               : 978-602-8277-92-1
Penerbit           : Indiva
Terbit               : Juli 2013/ Cetakan Pertama
Kota Terbit      : Surakarta
Ketebalan        : 20 cm
Jumlah Halaman: 416 halaman
Genre              : Fiksi/ Novel
Harga              : Rp59.000,00


Sinopsis:
Altitude 3676 Takhta Mahameru menceritakan tentang kisah perjalanan seorang pendaki ulung, keras kepala, dan menyimpan selaksa dendam dalam hatinya. Dialah Raja Ikhsan. Anak semata wayang dari seorang ibu yang merupakan istri kedua dari seorang pengusaha kaya di Jakarta. Anak yang tak mau mendirikan shalat sebelum diberi sebelas alasan ini, mengaku bahwa dirinya hanya mempunyai ayah ketika usia SD. Karena setelah menginjak usia SMP, ayahnya lebih memilih untuk tinggal bersama istri pertamanya yang mempunyai dua orang anak. Sejak saat itulah dia mulai membenci ayahnya. Puncaknya, saat ibunya sudah mulai sakit-sakitan dan ayahnya tak mau peduli lagi. Ditambah hasutan dan cacian dari istri pertama ayahnya, Ibu Junita, dia semakin geram dan berniat untuk membunuh ayahnya. Ayahnya sebenarnya adalah ayah yang baik dan masih ingin peduli pada mereka, akan tetapi karena pengaruh seorang ibu tiri, ayahnya terkesan menjadi seorang penjahat di mata Raja Ikhsan. Lagi-lagi hal ini membuat dendamnya semakin menumpuk pada sang ayah juga pada ibu tirinya.
Awalnya Ikhsan, panggilan Raja Ikhsan, kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Demi menghidupi diri dan ibunya, dia bekerja serabutan. Kadang dia bekerja sebagai wartawan lepas di salah satu media lokal di waktu luangnya, kadang juga menjadi buruh dan kuli bangunan. Dia melakukan semua itu untuk ibunya seorang. Ya, ibunya yang meninggal secara naas. Dan terakhir diketahui bahwa penyebab kematian ibunya adalah ibu tirinya. Hal ini membulatkan tekadnya untuk membunuh keluarga ayahnya, terutama ibu tirinya. Maka dijebaklah ibu tirinya itu dengan perangkap yang telah diaturnya dengan baik yang menjadikan Aulia, saudara laki-laki tirinya, sebagai umpan. Namun ternyata hal itu malah mengantarkannya ke dalam buih.
Dua tahun adalah hukuman buih yang  dijatuhkan padanya, tetapi dia hanya menjalani setahun saja. Berkat bantuan sang ayah yang menangguhkan setahun masa hukumannya. Kehidupannya di dalam penjara selama setahun itu tenyata mempertemukannya dengan Yusuf. Lelaki baik yang mampu mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik, mau memaafkan, mengubur dendamnya, dan mau mendirikan shalat. Setelah keluar dari buih, dia memilih untuk hijrah dari Jakarta menuju Banjarmasin daripada menerima tawaran Direktur dan mewarisi perusahaan dari ayahnya.
Mendaki gunung dan berpetualang menjadi pilihan untuk mengisi hari-harinya yang penuh dendam itu. Dalam perjalanan pendakiannya inilah dia bertemu dengan dua orang yang mengajarkannya arti kebahagian dan cara untuk mengucap maaf juga terima kasih. Kata yang tidak pernah dia ucapkan kepada orang lain selain pada ibunya. Mereka adalah Fikri dan Faras.