(Pencapaian Hati di Puncak Tertinggi)
Biodata Buku :
Judul : Altitude 3676 Takhta Mahameru
Penulis : Azzura Dayana
ISBN :
978-602-8277-92-1
Penerbit : Indiva
Terbit : Juli 2013/ Cetakan Pertama
Kota Terbit : Surakarta
Ketebalan : 20 cm
Jumlah Halaman: 416 halaman
Genre : Fiksi/ Novel
Harga : Rp59.000,00
Sinopsis:
Altitude
3676 Takhta Mahameru menceritakan tentang kisah perjalanan seorang pendaki
ulung, keras kepala, dan menyimpan selaksa dendam dalam hatinya. Dialah Raja
Ikhsan. Anak semata wayang dari seorang ibu yang merupakan istri kedua dari
seorang pengusaha kaya di Jakarta. Anak yang tak mau mendirikan shalat sebelum
diberi sebelas alasan ini, mengaku bahwa dirinya hanya mempunyai ayah ketika
usia SD. Karena setelah menginjak usia SMP, ayahnya lebih memilih untuk tinggal
bersama istri pertamanya yang mempunyai dua orang anak. Sejak saat itulah dia
mulai membenci ayahnya. Puncaknya, saat ibunya sudah mulai sakit-sakitan dan
ayahnya tak mau peduli lagi. Ditambah hasutan dan cacian dari istri pertama
ayahnya, Ibu Junita, dia semakin geram dan berniat untuk membunuh ayahnya. Ayahnya
sebenarnya adalah ayah yang baik dan masih ingin peduli pada mereka, akan
tetapi karena pengaruh seorang ibu tiri, ayahnya terkesan menjadi seorang
penjahat di mata Raja Ikhsan. Lagi-lagi hal ini membuat dendamnya semakin
menumpuk pada sang ayah juga pada ibu tirinya.
Awalnya
Ikhsan, panggilan Raja Ikhsan, kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di
Jakarta. Demi menghidupi diri dan ibunya, dia bekerja serabutan. Kadang dia bekerja
sebagai wartawan lepas di salah satu media lokal di waktu luangnya, kadang juga
menjadi buruh dan kuli bangunan. Dia melakukan semua itu untuk ibunya seorang. Ya,
ibunya yang meninggal secara naas. Dan terakhir diketahui bahwa penyebab
kematian ibunya adalah ibu tirinya. Hal ini membulatkan tekadnya untuk membunuh
keluarga ayahnya, terutama ibu tirinya. Maka dijebaklah ibu tirinya itu dengan
perangkap yang telah diaturnya dengan baik yang menjadikan Aulia, saudara
laki-laki tirinya, sebagai umpan. Namun ternyata hal itu malah mengantarkannya
ke dalam buih.
Dua
tahun adalah hukuman buih yang
dijatuhkan padanya, tetapi dia hanya menjalani setahun saja. Berkat
bantuan sang ayah yang menangguhkan setahun masa hukumannya. Kehidupannya di
dalam penjara selama setahun itu tenyata mempertemukannya dengan Yusuf. Lelaki
baik yang mampu mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik, mau memaafkan,
mengubur dendamnya, dan mau mendirikan shalat. Setelah keluar dari buih, dia
memilih untuk hijrah dari Jakarta menuju Banjarmasin daripada menerima tawaran
Direktur dan mewarisi perusahaan dari ayahnya.
Mendaki
gunung dan berpetualang menjadi pilihan untuk mengisi hari-harinya yang penuh
dendam itu. Dalam perjalanan pendakiannya inilah dia bertemu dengan dua orang
yang mengajarkannya arti kebahagian dan cara untuk mengucap maaf juga terima
kasih. Kata yang tidak pernah dia ucapkan kepada orang lain selain pada ibunya.
Mereka adalah Fikri dan Faras.
Fikri
adalah sahabat yang selalu bersamanya saat mendaki dan berpetualang selama
beberapa tahun. Sahabat yang tak pernah dia acuhkan, nasihat dan pendapat Fikri
selalu diabaikannya, akan tetapi Fikri tidak demikian padanya. Fikri selalu
baik dan selalu memahaminya. Lama dia tak bertukar kabar dengan Fikri
dikarenakan ketidakacuhannya pada orang lain. Dia menemui kembali sahabatnya
setelah dia keluar dari buih, tetapi kini dalam suasana yang berbeda. Fikri
telah tiada, hanya sebuah nisan bertuliskan namanya yang dilihatnya. Masih
tegar seperti Fikri yang dikenalnya. Ya, karena Fikri adalah anak dari seorang
pelaut ulung dari daerah Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di Tanjung
Bira inilah dia mulai menata dirinya dan mencoba untuk menebus semua
kesalahannya kepada Fikri, sahabat terbaik yang tak pernah dianggapnya.
Faras
adalah gadis desa yang sangat baik, perhatian, pengertian, dan apa adanya.
Walaupun dia hanya tamatan SMA yang kini hanya mengajar di SD di desanya, Ranu
Pane. Akan tetapi dia berpikiran layaknya orang yang mempunyai sekolah tinggi.
Bahasanya sopan dan penuh makna. Faraslah yang mengajarinya untuk memaafkan dan
mengubur dendamnya. Dimulai dari pertemuannya di Ranu Pane saat dia hendak
mendaki pertama kali. Faraslah orang yang paling peduli padanya. Hingga dia tak
pernah menyangka Faras akan mencarinya ke semua tempat yang dikirimnya lewat e-mail.
Hingga Mareta, saudara perempuan tirinya, menyebut Faras sebagai wanita
pengejar jejak e-mail.
Mareta.
Mareta adalah adik tiri perempuannya yang sangat membencinya. Saking bencinya
dia dipanggil sebagai ‘monster’ oleh
Mareta. Mareta adalah gadis yang seumuran dengan Faras, dia termasuk anak yang
manja, berasal dari keluarga kaya, egois, dan tidak tahu terima kasih, sama
seperti dirinya. Dia juga sangat membenci Mareta dan menyimpan dendam padanya.
Lama dia tak berjumpa dengan Mareta. Faras yang akhirnya mempertemukan mereka
kembali dengan suasana yang berbeda. Awalnya mereka saling menyimpan dendam,
kini keduanya telah ikhlas memaafkan dan telah mengubur dendam itu. Semuanya
telah berubah berkat Faras. Hingga akhirnya dia jatuh hati pada Faras, akan tetapi
Nurdin, teman sedesa Faras telah lebih dulu berniat untuk melamar Faras. Walaupun
demikian, tetap ada bahagia di hati Faras dan Ikhsan karena mereka telah
menemukan beningnya cinta dan ke ikhlasan di altitude 3676.
Kelebihan:
Novel ini sangat menarik untuk
dibaca karena Azzura Dayana, si penulis, mampu menguraikan ceritanya dengan
diksi-diksi yang ringan dan gampang dimengerti oleh pembaca. Penulis juga
menyisipkan istilah-istilah bahasa asing yang dapat menambah kosa kata bagi
yang masih awam dalam bahasa asing, bahasa Inggris. Selain itu, gaya narasi
yang dipilih oleh penulis sangat kreatif dan cerdas karena dia mampu
menggambarkan setiap tempat dan suasana dalam ceritanya secara apik dan nyaman.
Sehingga pembaca seolah-olah berada di tempat yang digambarkan, seolah-olah
merasakan apa yang dituliskan dalam cerita. Intinya, ceritanya sangat
menyentuh. Jujur, setelah membacanya, saya, sebagai pembaca merasa terpanggil
untuk mengunjungi daerah Tanjung Bira di Bulukumba apalagi Ranu Pane, Ranu
Kolombo, Mahameru, dan tempat lain yang diceritakan dalam novel ini. Jujur,
penasan berat.
Selain
penceritaan yang bagus, novel ini juga memberikan suguhan pesan moral yang
banyak kepada pembaca. Baik secara tersurat maupun secara tersirat. Ada
beberapa kutipan yang menarik, sebagai berikut.
“Mencintai
air harus menjadi ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani
perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu, hujan di matamu.”[1]
“Ketahuilah
bahwa segala perbuatan salahmu belum tentu mencelakaimu dan belum tentu musibah
yang menimpamu belum tentu karena kesalahanmu. Ketahuilah bahwa kemenangan
beserta kesabaran, kebahagiaan beserta kedukaan, dan setiap kesulitan ada
kemudahan.”[2]
“Penghargaan
kita kepada kata-kata dan pemikiran teman memang kadang-kadang datang
terlambat.”[3]
Kekurangan:
Manusia
adalah tempatnya khilaf. Begitupula dengan Azzura Dayana, penulis kelahiran
Palembang, 17 Maret 1983 ini juga mengalaminya. Ada sedikit kebingungan di
halaman-halaman awal novel ini. Sehingga terkesan kurang menantang pembaca
untuk segera melahapnya sampai halaman akhir. Pembaca yang hanya sekadar, akan
merasa malas untuk membacanya sesaat.
Kesan Pembaca:
Dengan
hadirnya novel-novel seperti jenis ini, pengosumsi bacaan fiksi tidak akan
hanya merasakan nilai imajinasi yang romantis, haru, bahagia, atau kecewa dari
sebuah tulisan, tetapi juga akan menemukan pengetahuan baru yang sangat
mendidik dari bacaan yang dibacanya.
[1]
Hal 110 paragraf ketujuh kutipan puisi dari Sapardi Djoko Damono
[2]
Hal 353 paragraf kedua
[3]
Hal 384 paragraf keempat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dikomen aja ya!
sesungguhnya komentar teman-teman sangat membantu perbaikan isi blog ini. hehehe.... Terima Kasih ^_^