Rabu, 18 Desember 2013

Sebuah Resensi Sebuah Pembelajaran...

 
Mengulum Dendam Dari Tanjung Bira Hingga Mahameru
 (Pencapaian Hati di Puncak Tertinggi)

Biodata Buku : 
Judul               : Altitude 3676 Takhta Mahameru
Penulis             : Azzura Dayana
ISBN               : 978-602-8277-92-1
Penerbit           : Indiva
Terbit               : Juli 2013/ Cetakan Pertama
Kota Terbit      : Surakarta
Ketebalan        : 20 cm
Jumlah Halaman: 416 halaman
Genre              : Fiksi/ Novel
Harga              : Rp59.000,00


Sinopsis:
Altitude 3676 Takhta Mahameru menceritakan tentang kisah perjalanan seorang pendaki ulung, keras kepala, dan menyimpan selaksa dendam dalam hatinya. Dialah Raja Ikhsan. Anak semata wayang dari seorang ibu yang merupakan istri kedua dari seorang pengusaha kaya di Jakarta. Anak yang tak mau mendirikan shalat sebelum diberi sebelas alasan ini, mengaku bahwa dirinya hanya mempunyai ayah ketika usia SD. Karena setelah menginjak usia SMP, ayahnya lebih memilih untuk tinggal bersama istri pertamanya yang mempunyai dua orang anak. Sejak saat itulah dia mulai membenci ayahnya. Puncaknya, saat ibunya sudah mulai sakit-sakitan dan ayahnya tak mau peduli lagi. Ditambah hasutan dan cacian dari istri pertama ayahnya, Ibu Junita, dia semakin geram dan berniat untuk membunuh ayahnya. Ayahnya sebenarnya adalah ayah yang baik dan masih ingin peduli pada mereka, akan tetapi karena pengaruh seorang ibu tiri, ayahnya terkesan menjadi seorang penjahat di mata Raja Ikhsan. Lagi-lagi hal ini membuat dendamnya semakin menumpuk pada sang ayah juga pada ibu tirinya.
Awalnya Ikhsan, panggilan Raja Ikhsan, kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Demi menghidupi diri dan ibunya, dia bekerja serabutan. Kadang dia bekerja sebagai wartawan lepas di salah satu media lokal di waktu luangnya, kadang juga menjadi buruh dan kuli bangunan. Dia melakukan semua itu untuk ibunya seorang. Ya, ibunya yang meninggal secara naas. Dan terakhir diketahui bahwa penyebab kematian ibunya adalah ibu tirinya. Hal ini membulatkan tekadnya untuk membunuh keluarga ayahnya, terutama ibu tirinya. Maka dijebaklah ibu tirinya itu dengan perangkap yang telah diaturnya dengan baik yang menjadikan Aulia, saudara laki-laki tirinya, sebagai umpan. Namun ternyata hal itu malah mengantarkannya ke dalam buih.
Dua tahun adalah hukuman buih yang  dijatuhkan padanya, tetapi dia hanya menjalani setahun saja. Berkat bantuan sang ayah yang menangguhkan setahun masa hukumannya. Kehidupannya di dalam penjara selama setahun itu tenyata mempertemukannya dengan Yusuf. Lelaki baik yang mampu mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik, mau memaafkan, mengubur dendamnya, dan mau mendirikan shalat. Setelah keluar dari buih, dia memilih untuk hijrah dari Jakarta menuju Banjarmasin daripada menerima tawaran Direktur dan mewarisi perusahaan dari ayahnya.
Mendaki gunung dan berpetualang menjadi pilihan untuk mengisi hari-harinya yang penuh dendam itu. Dalam perjalanan pendakiannya inilah dia bertemu dengan dua orang yang mengajarkannya arti kebahagian dan cara untuk mengucap maaf juga terima kasih. Kata yang tidak pernah dia ucapkan kepada orang lain selain pada ibunya. Mereka adalah Fikri dan Faras.

Fikri adalah sahabat yang selalu bersamanya saat mendaki dan berpetualang selama beberapa tahun. Sahabat yang tak pernah dia acuhkan, nasihat dan pendapat Fikri selalu diabaikannya, akan tetapi Fikri tidak demikian padanya. Fikri selalu baik dan selalu memahaminya. Lama dia tak bertukar kabar dengan Fikri dikarenakan ketidakacuhannya pada orang lain. Dia menemui kembali sahabatnya setelah dia keluar dari buih, tetapi kini dalam suasana yang berbeda. Fikri telah tiada, hanya sebuah nisan bertuliskan namanya yang dilihatnya. Masih tegar seperti Fikri yang dikenalnya. Ya, karena Fikri adalah anak dari seorang pelaut ulung dari daerah Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di Tanjung Bira inilah dia mulai menata dirinya dan mencoba untuk menebus semua kesalahannya kepada Fikri, sahabat terbaik yang tak pernah dianggapnya.
Faras adalah gadis desa yang sangat baik, perhatian, pengertian, dan apa adanya. Walaupun dia hanya tamatan SMA yang kini hanya mengajar di SD di desanya, Ranu Pane. Akan tetapi dia berpikiran layaknya orang yang mempunyai sekolah tinggi. Bahasanya sopan dan penuh makna. Faraslah yang mengajarinya untuk memaafkan dan mengubur dendamnya. Dimulai dari pertemuannya di Ranu Pane saat dia hendak mendaki pertama kali. Faraslah orang yang paling peduli padanya. Hingga dia tak pernah menyangka Faras akan mencarinya ke semua tempat yang dikirimnya lewat e-mail. Hingga Mareta, saudara perempuan tirinya, menyebut Faras sebagai wanita pengejar jejak e-mail.
Mareta. Mareta adalah adik tiri perempuannya yang sangat membencinya. Saking bencinya dia dipanggil sebagai ‘monster’  oleh Mareta. Mareta adalah gadis yang seumuran dengan Faras, dia termasuk anak yang manja, berasal dari keluarga kaya, egois, dan tidak tahu terima kasih, sama seperti dirinya. Dia juga sangat membenci Mareta dan menyimpan dendam padanya. Lama dia tak berjumpa dengan Mareta. Faras yang akhirnya mempertemukan mereka kembali dengan suasana yang berbeda. Awalnya mereka saling menyimpan dendam, kini keduanya telah ikhlas memaafkan dan telah mengubur dendam itu. Semuanya telah berubah berkat Faras. Hingga akhirnya dia jatuh hati pada Faras, akan tetapi Nurdin, teman sedesa Faras telah lebih dulu berniat untuk melamar Faras. Walaupun demikian, tetap ada bahagia di hati Faras dan Ikhsan karena mereka telah menemukan beningnya cinta dan ke ikhlasan di altitude 3676.


Kelebihan:
            Novel ini sangat menarik untuk dibaca karena Azzura Dayana, si penulis, mampu menguraikan ceritanya dengan diksi-diksi yang ringan dan gampang dimengerti oleh pembaca. Penulis juga menyisipkan istilah-istilah bahasa asing yang dapat menambah kosa kata bagi yang masih awam dalam bahasa asing, bahasa Inggris. Selain itu, gaya narasi yang dipilih oleh penulis sangat kreatif dan cerdas karena dia mampu menggambarkan setiap tempat dan suasana dalam ceritanya secara apik dan nyaman. Sehingga pembaca seolah-olah berada di tempat yang digambarkan, seolah-olah merasakan apa yang dituliskan dalam cerita. Intinya, ceritanya sangat menyentuh. Jujur, setelah membacanya, saya, sebagai pembaca merasa terpanggil untuk mengunjungi daerah Tanjung Bira di Bulukumba apalagi Ranu Pane, Ranu Kolombo, Mahameru, dan tempat lain yang diceritakan dalam novel ini. Jujur, penasan berat.
            Selain penceritaan yang bagus, novel ini juga memberikan suguhan pesan moral yang banyak kepada pembaca. Baik secara tersurat maupun secara tersirat. Ada beberapa kutipan yang menarik, sebagai berikut.
“Mencintai air harus menjadi ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu, hujan di matamu.”[1]
“Ketahuilah bahwa segala perbuatan salahmu belum tentu mencelakaimu dan belum tentu musibah yang menimpamu belum tentu karena kesalahanmu. Ketahuilah bahwa kemenangan beserta kesabaran, kebahagiaan beserta kedukaan, dan setiap kesulitan ada kemudahan.”[2]
“Penghargaan kita kepada kata-kata dan pemikiran teman memang kadang-kadang datang terlambat.”[3]

Kekurangan:
            Manusia adalah tempatnya khilaf. Begitupula dengan Azzura Dayana, penulis kelahiran Palembang, 17 Maret 1983 ini juga mengalaminya. Ada sedikit kebingungan di halaman-halaman awal novel ini. Sehingga terkesan kurang menantang pembaca untuk segera melahapnya sampai halaman akhir. Pembaca yang hanya sekadar, akan merasa malas untuk membacanya sesaat.

Kesan Pembaca:
            Dengan hadirnya novel-novel seperti jenis ini, pengosumsi bacaan fiksi tidak akan hanya merasakan nilai imajinasi yang romantis, haru, bahagia, atau kecewa dari sebuah tulisan, tetapi juga akan menemukan pengetahuan baru yang sangat mendidik dari bacaan yang dibacanya.


[1] Hal 110 paragraf ketujuh kutipan puisi dari Sapardi Djoko Damono
[2] Hal 353 paragraf kedua
[3] Hal 384 paragraf keempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikomen aja ya!
sesungguhnya komentar teman-teman sangat membantu perbaikan isi blog ini. hehehe.... Terima Kasih ^_^