Assalamu'alaikum Wr. Wb.
hai teman smua kali ini aku mempostingan tugas kuliah yang kemarin (10 november 2013) diperdebatkan dalam ruang perkuliahan dan dilanjutkan di dunia maya. semoga bisa bermanfaat. but, maaf alasannya tdk dpt menampilkan tulisan alqurannya hehehe... selamat mebaca!
IMAN PADA QADHA QADAR DAN NASIB MASA DEPAN
Oleh
Betwan
betwan.betty@ymail.com
Pendahuluan
Iman kepada qadha dan qadar atau yang kebanyakan orang mengenalnya dengan istilah takdir, selalu menjadi perdebatan publik. Tak sedikit perdebatan ataupun pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat masalah ini diangkat dalam suatu diskusi. Bagi umat Islam, takdir merupakan bagian dari aqidah karena hal ini berhubungan dengan iman pada qadha dan qadar yang merupakan kata yang berasal dari qadar (ukuran). Pemahaman akan takdir ini menentukan arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
Beriman kepada qadha dan qadar Allah adalah rukun keenam dalam rukun iman. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril As. tentang iman, beliau bersabda, yang artinya: “Engkau beriman kepada Allah , para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari 1/19-20, dan Muslim 1/37)
Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa yang terjadi, baik dan buruk, itu adalah atas qadha dan qadar Allah . Seperti firman-Nya,
Artiya: ”Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.”(Q.S. Al-Hadid: 22)
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia sebelum diciptakan, Allah telah menentukan ketetapan-ketetapan bagi makhluk-Nya dalam lauh mahfudz. Segala yang terjadi pada alam dan manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah . Tugas manusia adalah berusaha dan berikhtiar atas usahanya.
Hal ini juga diperjelas dengan hadits shahih dari hadits arba’in an nawawiah bagian keempat tentang siklus penciptaan manusia dan misteri nasib bahwa,
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan, Rasulullah , beliau adalah sosok yang jujur dalam menyampaikan berita, beliau menceritakan kepada kami, “Masing-masing kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari sebagai segumpal mani,kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian malaikat diutus padanya dan ia ditiupkan roh, dan ia diperintahkan perihal empat, untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara ataukah bahagia. Demi zat yang tiada sesembahan yang lain selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang tercatat mengamalkan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dia dan surga melainkan hanya sehasta. Lantas takdir mendahuluinya sehingga ia mengamalkan amalan penghuni neraka dan ia memasukinya. Dan sungguh di antara kalian ada yang melakukan amalan penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dan neraka melainkan hanya sehasta. Lantas takdir mendahuluinya dan ia pun mengamalkan amalan penghuni surga dan ia memasukinya.” (Bukhari 3208 dan Muslim 2643)
Sejak dalam rahim ibu, manusia telah dituliskan empat hal akan nasibnya, yakni rezeki, ajal, amal, dan bahgia ataukah sengsara. Hal itu sudah dituliskan oleh Allah , manusia tinggal mengontrolnya, mengemudikannya ke arah yang sesuai dengan akal dan ilmunya. Surga dan neraka dalam hal ini adalah pilihan manusia itu sendiri sebagai hamba Allah .
Dengan meyakini qadha dan qadar Allah , lantas apakah kita harus pasrah begitu saja? Pasrah bahwa semua nasib dan perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah . Tidakkah kita berpikir tentang siapakah yang menakdirkan manusia itu? Siapa yang tau bahwa kita manjadi petani, pedagang, bahkan penjahat, siapa jodoh kita, bagaimana rezki kita, dan lain sebagainya? Tidak ada seorang pun yang tau. Untuk itu alangkah naifnya kalau kita pasrah begitu saja. Pasrah berarti menunggu takdir, sedangkan takdir itu tidak kita ketahui. Sikap hidup ialah mencari takdir, artinya berusaha dengan sekuat tenaga melalui berbagai cara yang ditunjukkan Allah untuk menentukan nasib kita sendiri (dengan berikhtiar). Sebagaimana Allah berfirman,
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak dapat yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”(Q.S. Ar-Ra’du:11)
Banyak kasus di masyarakat yang unik tentang takdir, kadang membuat sebagian orang memilih untuk menunggu takdir dibandingkan berusaha untuk memaksimalkan dalam kebaikan takdir tersebut. Misalnya, Kasus kecelakaan mobil atau motor karena ban pecah, tabrakan, rem blong, terkadang sipenderita kasus tersebut akan berkata, “Mungkin sudah takdirnya.” Padahal itu semua mengikuti aturannya. Ban pecah, bisa terjadi karena tertusuk paku atau tekanan udaranya kurang atau umur bannya sudah tua. Jadi, bukan Allah yang memecahkannya, aturan Allah lah yang membuat hal itu terjadi. Kasus kecelakaan lainnya, seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kapal tenggelam, semuanya pasti ada sebabnya, dan biasanya karena adanya sunnatullah yang dilanggar. Tapi dari itu, kita seolah-olah ditegur oleh Allah agar melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan dan ukuran yang telah ditetapkan.
Dalam urusan rezeki, Islam memerintahkan untuk bekerja keras. Ingin kaya, ya bekerja keras. Ingin urusan rezeki lancar, carilah jalan masuknya rezeki yang baik. Karena, biasanya, urusan rezeki ini berbanding lurus dengan besarnya usaha apa yang dikerjakan dan pada siapa kita bekerja. Harus disesuaikan tujuan dan rencana awal saat melangkah agar hasilnya jadi maksimal. Kalau misalkan sampai saatnya mati belum juga kaya, setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari kualitas hidup yang lebih baik. Meksipun ada juga kasus-kasus datangnya rezeki dari arah yang “tidak bisa diduga”, tapi biasanya, hal tersebut juga terjadi dari usaha yang kita lakukan sebelumnya. Misalnya, kita sering menolong orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain. Sebagai rasa terima kasih, orang yang ditolong tersebut memberikan uang atau rezeki lainnya kepada kita. Itu pun, pada dasarnya, akibat usaha kita juga.
Terakhir, untuk urusan jodoh, memang “sepenuhnya” karena keputusan Allah. Biasanya, untuk kasus jodoh ini, campur tangan Allah dirasakan sangat besar. Karena, kadang, sebesar apa pun usaha yang kita lakukan, kalau memang orang yang kita incar tidak suka, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, urusan hati ini, hanya Allah saja yang bisa membolak-balikkannya, tentu saja dengan caraNya yang terkadang tidak bisa kita mengerti. Tapi, tetap saja, orang-orang yang berikhtiar lebih keras, cenderung lebih cepat mendapatkan jodohnya daripada orang-orang yang menunggu datangnya jodoh. Karenanya, kita pun harus introspeksi diri, seberapa besar usaha kita untuk mendapatkan jodoh tersebut. Atas dasar inilah sehingga penulis tertarik untuk mengambil sebuah judul “Iman pada Qadha Qadar dan Nasib Masa Depan” untuk dibahas dalam makalah ini.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah hakikat iman pada qadha dan qadar?
2. Apakah beriman kepada qadha dan qadar termasuk rukun iman?
3. Bagaimanakah keimanan tersebut jika dikaitkan dengan kehidupan masa depan?