Jumat, 23 Desember 2011

Sebuah kajian sederhana yang mengahasilkan arti yang mendalam, bagi yang menghayati...


GAYA BAHASA PENGARANG LAKI-LAKI PADA DIALOG TOKOH PEREMPUAN DALAM TIGA NASKAH DRAMA
Betwan (A1D1 08 076)
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Haluoleo
Kampus Bumi Tridarma
Jl. H.E.A. Mokodompit 93212
Telp. 085241618016

Abstrak
Perbedaan gender dalam setiap karya sastra baik itu puisi, prosa, maupun drama sering sekali dimunculkan. Sehingga pengarang laki-laki memiliki kecenderungan memihak pada jenisnya begitupula dengan perempuan.  Sebagaimana hakikat dasarnya bahwa sebuah drama atau karya sastra itu biasanya mengutip atau mengambil referensi pada keadaan di sekitarnya baik lingkungan pribadi maupun sosial masyarakat. Sehingga tak heran jika kita menemukan adanya perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki  dalam karya yang dihasilkannya. Drama Pagi Bening, Waktu Perempuan, dan Malam Terakhir merupakan tiga buah drama dengan tokoh perempuan sebagai tokoh utamanya. Ketiga drama ini dikarang oleh para pengarang  laki-laki. Masih adakah perbedaan gender di dalam pemilihan gaya bahasanya? Dalam hal berbahasa, pada dasarnya perempuan memiliki gaya bahasa yang lebih halus dari pada laki-laki. Karena drama merupakan karya sastra yang diwujudkan dengan pertunjukan dalam bentuk dialog, maka pengarang dapat menempatkan secara relevan ataupun tidak kedudukan seorang perempuan dalam drama karyanya tersebut. Mengingat bahwa bahasa atau dialog dalam drama merupakan cerminan hidup dalam suatu masyarakat,  cerminan dari kenyataan. Namun, dalam sebuah drama tokoh adalah alat yang dibuat oleh pengarang untuk menyampaikan segala aspirasinya. Pengarang mempunyai kebebasan untuk menempatkan gaya bahasa yang cocok untuk para tokohnya.
Kata kunci: perbedaan gender

PENDAHULUAN
Secara fundamental sastra adalah seni kreatif yang melibatkan kita secara sukarela atau spontan, bagian dari  kehidupan manusia, berbicara dan memperjuangkan kepentingan hidup manusia, ciptaan manusia ke dalam bentuk sastra baik lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan beribu rasa dalam benak yang menikmatinya. Sedangkan Menurut Jakob Sumardjo, sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai mediumnya. Melalui sastra manusia akan menuangkan segala idenya, dan tidak sedikit pengarang yang menyertakan suatu realita dalam karyanya. Sehingga pesan yang kita dapatkan sebagai pembaca berkaitan dengan masalah yang kita hadapi dalam keseharian kita. Jadi, sastra adalah seni kreatif karya manusia yang secara spontan melibatkan fikiran dan imajinasinya untuk menyampaikan gagasan yang menghibur dan bermanfaat bagi pembaca dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Drama merupakan salah satu genre karya sastra yang dapat dinikmati oleh pembaca dengan menyaksikan pertunjukannya dalam bentuk lakon dan dialog. Penikmat benar-benar “menyaksikan” peristiwa yang di panggung. Akibatnya terhadap penikmat akan lebih mendalam, lebih pekat, dan lebih intens. Hal inilah yang membedakannya dengan karya sastra dalam bentuk puisi dan prosa. Namun, dalam mencipta sebuah karya sastra pengarang tidak memiliki kesempatan sebebas kesempatan seorang pengarang dalam genre puisi ataupun prosa. Seperti halnya Luxemburg dkk. (1984: 158 dalam Hasanuddin 1996: 6) yang mengatakan bahwa pengarang pada prinsipnya  memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khusus akibat orientasi pementasan.
Pengarang dalam mencipta sebuah drama memiliki kesempatan besar untuk mengatur para tokoh-tokohnya. Mulai dari menentukan karakter hingga jenis gaya bahasa yang hendak digunakan dalam dialog-dialognya. Secara umum, dialog dalam teks drama berfungsi untuk menetapkan karakter, ruang dan lakuan. Selain itu berfungsi juga sebagai sistem penggiliran. Seorang tokoh berbicara dan tokoh lainnya mendengarkan dan selanjutnya menjawab sehingga pada gilirannya menjadi pembicara. Kualiatas interaksi peran pembicara-pendengar merupakan suatu modus dasar dialog drama. Terjadinya dialog untuk menciptakan suatu dialektik interpersonal di dalam waktu dan lokasi wacana.
Dalam dialog drama tak jarang kita menemukan adanya perbedaan gaya bahasa yang digunakan oleh tokoh laki-laki dan perempuan. Bahasa yang paling menonjol adalah bahasa yang digunakan oleh para perempuan. Bahasa perempuan memiliki ciri khas, biasanya mereka menggunakan perasaan dalam berbicara, dan mereka cenderung berempati baik pada sesama jenis maupun lawan jenis. Gaya bahasa yang diperankan oleh para tokoh tidak terlepas dari peran seorang pengarang. Pengarang pun kadang memilih-milih tokoh dalam menentukan jenis gaya bahasa yang akan digunakannya. Bahkan perbedaan gender pun memungkinkan akan terjadi perbedaan antar dialog tokoh laki-laki dan tokoh perempuan. Oleh karena itu, dalam tiga drama ini penulis ingin mengemukakan beberapa hal berikut.
1.      Bagaimana pengarang laki-laki menentukan gaya bahasa terhadap tokoh perempuan dalam ketiga drama ini?
2.      Sejauh mana keberpihakan laki-laki pada gendernya dalam menentukan gaya bahasa pada dialog dalam dramanya?
3.      Simbol apa yang dimunculkan oleh pengarang dalam dialog berupa gaya bahasa pada tokoh perempuan dalam ketiga drama ini?
4.      Bagaimana  makna dialog dari tokoh perempuan dalam ketiga drama ini?
Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang dalam mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan. Gaya bahasa cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan, perbandingan, dan sindiran. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapan-ucapannya tentu akan berbeda letaknya dengan tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran ataupun pertentangan dan perbandingan.
Pengarang mampu membentuk karakter para tokoh dari gaya bahasa yang diberikannya pada tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, tokoh yang suka menggunakan gaya bahasa pertentangan lebih cenderung sebagai tikoh antagonis dan berwatak pembangkang. Tokoh laki-laki akan berbeda gaya bahasanya dengan tokoh perempuan. atau bisa saja seorang pengarang laki-laki akan membedakan kedudukan tokoh laki-laki dan perempuan dalam karya-karyanya.
·         Simbol dalam Dialog
Jan Van Luxemberg dkk (1991:59-69) mengatakan bahwa penggunaan simbol dapat dilihat dalam tiga bidang yakni pilihan kata, pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan bentuk semantis. Sebagai contoh, penulis akan memaparkan dalam bidang bentuk semantik.
·         Dialog yang Bermakna
Mengenai dialog yang bermakna, simbol pun dikemas dalam dialog yang bermakna dengan syarat percakapan yang bermakna seperti kuantitas, dialog tidak bertele-tele, informatif sesuai dengan keperluan, tidak berlebihan dan tidak cerewet. Dialog padat, tidak menggurui dan menjelas-jelaskan yang tidak perlu. Dalam tingkat kualitas, dialog menyampaikan kebenaran-kebanaran sastrawi dengan data-data kuat. Masalah relasinya, yakni menyampaikan apa-apa yang relevan. Dan yang terakhir masalah sikap, para pembicara (tokoh-tokoh) menghindari ambiguitas dan kesamaran ucapan.
Kuntjara (2004: 101) menyatakan bahwa dalam banyak hal perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut mencerminkan kehidupan mereka dalam konteks sosial masyarakat. Dengan adanya keterkaitan antara bahasa, masyarakat dan kebudayaan dengan adanya perbedaan gender tersebut maka kedudukan bahasa menjadi sangat penting. Hal inilah yang mendasari keberpihakkan pengarang laki-laki pada jenisnya yang memungkinkan mendukung atau tidak mendukung tokoh perempuan dalam karyanya. Hal ini dapat kita lihat pada tiga naskah drama yang akan dianalisis dalam tulisan ini.
1.      Naskah drama Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Drs. Sapardi Djoko Damono.
2.      Naskah drama Waktu Perempuan Karya Royal Ikmal.
3.      Naskah drama Malam Terakhir karya Yukio Mishima terjemahan Toto Sudarto Bachtiar.
Ketiga naskah tersebut merupakan drama yang ditulis oleh pengarang laki-laki yang di dalamnya terdapat tokoh perempuan sebagai tokoh utamanya dengan pengarang yang berbeda-beda. Dengan hadirnya tulisan ini penulis akan berusaha mengungkapkan cara pengarang laki-laki menempatkan gaya bahasa pada tokoh perempuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Sejauh mana keberpihakan laki-laki pada gendernya dalam menentukan gaya bahasa pada dialog dalam dramanya. Di sini akan dilihat perbedaan gaya bahasa yang diberikan pada perempuan dan laki-laki oleh seorang pengarang laki-laki.
PEMBAHASAN
Drama “Malam Terakhir” karya Yukio Mishima terjemahan Toto Sudarto Bachtiar, menceritakan tentang seorang perempuan yang hidup dalam bayang-bayang keindahan masa remajanya. Hingga pada usia sembilan puluh sembilan tahun pun kejadian saat usianya sembilan belas tahun terulang kembali. Dikisahkan, seorang penyair yang awalnya merasa aneh pada tindak-tanduk perempuan cantik (Komachi) yang selalu mengganggu ketenangan para pemuda dan pemudi yang sedang bercinta di taman. Penyair merasa terganggu akan hal tersebut, maka didekatinya dan kemudian mengajaknya bercertita. Komachi pun menceritakan siapa sesungguhnya dirinya, hingga pada hubungannya dengan Kapten Fukansa pun diceritakannya.
Komachi mengajak penyair berdansa dengannya untuk mengenang kembali kisahnya saat masih berusia sembilan belas tahun. Penyair pun berdansa dengan Komachi, beberapa saat kemudian penyair merasa Komachi yang berada di hadapannya adalah Komachi yang masih berusia sembilan belas tahun. Akhirnya penyair pun harus meninggal dunia dengan kata-katanya sendiri. Entah mengapa, sejak bertemu dengan Komachi dia menjadi tertarik untuk mengajaknya bercerita, hingga akhirnya iapun tertipu dengan kecantikannya. Ia mengucapkan kata cantik pada Komachi, padahal Komachi telah berusaha untuk tidak mengucapkan kata-kata itu.
Dalam drama ini pengarang sangat hati-hati memilih gaya bahasa untuk tokoh perempuan. Kehalusan kata-kata dihadirkannya secara sempurna pada setiap dialok tokoh perempuan yang menjadikan karakter tokoh perempuan menjadi disenangi dalam drama ini. terlihat pada kutipan.
“Kau mau merokok? Silahkan./ masih ada keperluan lainnya? Mungkin ada yang ingin kamu sampaikan?/ Bangku itu bukan milikmu sendiri, bukan?”
Dari ketiga kutipan di atas terlihat jelas bahwa pada drama ini pengarang sangat teliti memilih gaya bahasa untuk tokoh perempuan yang disesuaikannya dengan masalah yang dihadapinya. Sehingga tokoh perempuan menjadi sukses dalam memerankan dirinya sebagai tokoh utama yang baik dengan nada bahasa yang halus dan sopan. Lain halnya dengan drama “Pagi Bening”  karya  Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Drs. Sapardi Djoko Damono.
Drama “Pagi Bening”  karya  Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Drs. Sapardi Djoko Damono ini menceritakan tentang pertemuan dua insan dalam keadaan yang sudah lanjut usia yang secara tidak disengaja dan disangka-sangka ternyata saat remaja mereka pernah menjalin hubungan. Pertemuan yang diawali dengan pertengkaran karena sikap dari keduanya yang tak pernah mau mengalah. Bahkan untuk berbagi tempat duduk pun Laura enggan berbagi dengan Gonzalo, sedang Gozalo beranggapan bahwa tempat tersebut adalah miliknya. Hingga Gonzalo mencari-cari alasan untuk mengusir Laura dari tempat duduk tersebut. Laura pun tak mua kalah. Dia mencari-cari alasan agar Gonzalo pergi dan tidak duduk bersamanya.
            Akhirnya candaan yang renyah berhasil mereka dapatkan juga. Dimulai dari Gonzalo yang membaca  keras-keras sebuah sajak. Laura merasa taka sing dengan sajak yang dibaca Gonzalo, dia pun membaca kembali sajak tersebut. Mulia dari itulah sehingga muncul cerita  dengan cerita tentang kisah remaja mereka. Uniknya dalam drama ini diceritakan bahwa pada saat proses penceritaan tokoh di masa remaja mereka, tak ada yang mau mengakui bahwa sesungguhnya merekalah dua insan yang sedang mereka ceritakan dalam cerita mereka.
            Dalam drama ini pengarang menempatkan tokoh perempuan sebagai tokoh yang mempunyai mental yang baik yang dapat menegaskan semua diaolog-dialognya sehingga dapat menegaskan setiap dialog yang diucapkannya. Kelihaian pengarang dalam memilih gaya bahasa, tetap menjaga keberadaan tokoh utama sebagai tokoh yang serius dan  bermental baik dalam menghadapi masalah-masalahnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
            “Dia, saudara sepupu tuan itu…/ Saya katakana tadi, seorang teman telah menyurati saya./ Di sini, tuan dan saya, dua orang asing bertemu secara kebetulan…”
            Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang laki-laki telah berhasil memilih kata-kata penegasan yang mampu menghangatkan konflik secara baik. Kata “Dia” yang ditegaskannya dengan “saudara sepupu tuan itu” merupakan gaya penegasan  yang baik yang tetap menjaga kehalusan dialog perempuan.
Kebereadaan tokoh perempuan dalam drama “Waktu Perempuan” karya Royal Ikmal berbeda dengan keberadaan tokoh perempuan dalam drama Drama “Malam Terakhir” karya Yukio Mishima terjemahan Toto Sudarto Bachtiar dan drama “Pagi Bening”  karya  Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Drs. Sapardi Djoko Damono. Pada kedua drama tersebut tokoh perempuan berada pada tingkat kebahagiaan. Pengarang sama sekali tidak memunculkan penderitaan fisik maupun batin pada tokoh-tokoh utamanya. Sehingga kehalusan bahasa perempuan masih terjaga.
Lain halnya dengan drama “Waktu Perempuan” karya Royal Ikmal ini. di sini pengarang laki-laki mulai memunculkan egonya pada tokoh perempuan. Dalam darama yang mengisahkan tentang kaum perempuan yang ingin mengatakan dan menyadarkan  laki-laki bahwa perempuanlah yang memiliki kekuasaan terhadap laki-laki. Namun, hal itu ditentang oleh para laki-laki hingga membuahkan kekecewaan bagi perempuan.  Dalam drama ini, kisahnya diawali dengan  merasa senang dan puasnya pemuda1 karena ia telah  melakukan “sesuatu” kepada perempuan 1hingga perempuan itu merasa dilecehkan. Perempuan1 berusaha membela diri bahwa apa yang dilakukan pemuda 1 yang membuat dirinya tersiksa adalah sebuah kesalahan. Namun pemuda 1 menganggap hal itu merupakan hal yang wajar dan pemuda 2  pun mendukung apa yang dilakukan oleh pemuda1. Masalah kemudian muncul ketika manusia terbalik berusaha menggoda dan mengajak  pemuda 2 untuk menjadi pengikutnnya. Dimana manusia terbalik mengatakan bahwa semua kesenangan ada padannya dan dia adalah sunber kesenangan itu. Pemuda 2 kemudian menjadi pengikut dari manusia terbalik itu.
Pada adegan 2 kemudian muncul seorang perempuan tua.  Pemuda 1 berusaha memohon  sesuatu pada perempuan tua ini. Pemuda 1 memohon keringat dan debu tangan perempuan tua  namun, perempuan tua tidak memberikan apa yang diminta oleh pemuda1 tapi ia berusaha memotivasi pemuda satu agar ia mau berusaha dan memakan keringat dan debu tangannya sendiri.  Perempuan tua menyuruh pemuda 1 untuk tidur sejenak hingga akhirnya pemuda1 bertemu dengan perempuan 2 yang membuatnya harus bekerja keras untuk hidupnya.
  Masalah puncaknya kemudian terjadi pada adegan 3. Dalam adegan ini pemuda 1 dan pemuda 2 bersatu melawan perempuan1 dan perempuan 2 untuk mempertahankan gender masing- masing bahwa gender laki-lakilah yang berkuasa namun  perempuan juga menganggap bahwa gender perempuanlah yang menguasai laki-laki. Sebagai buktinya laki-laki mempunyai ibu yang menyusui mereka. Perempuan 1 berusaha mengeluarkan kotoran dari pikiran para pemuda itu namun hasilnya sia-sia. Pemuda1 dan pemuda 2 tetap tidak mau mengalah,  mereka mengatakan bahwa perempuan juga mempunyai ayah yang mencari nafkah untuk mereka. Perbedaan pendapat antara pemuda1, pemuda 2 dan perempuan 1, perempuan 2 semakin memuncak hingga membuahkan kekecewaan bagi perempuan dan pemuda 1  dan pemuda 2 pergi begitu saja meninggalkan perempuan tanpa peduli terhadap kekecewaan yang dialami perempuan. Drama ini kemudian diakhiri  pada adegan 4 dengan munculnya perempuan tua yang mengatakan bahwa tidak penting kita memperdebatkan siapa yang berkuasa. Karena semua mahluk hidup pasti akan kembali ke asalnya.
            Dalam drama ini pengarang sengaja memilih metafora-metafora yang menunjukkan keterpurukkannya tokoh perempuan. Walaupun kita harus mengakui bahwa pengarang tetap lihai dalam menjaga nillai kesopanan. Terbukti pada kutipan-  kutipan berikut.
            “Aku hampir tidak dapat melihat cahaya. Setiap aku berjalan semua terasa gelap, aku hanya mempunyai cahaya merah tapi rasanya sangat pedih bila aku keluarkan./ Pagi berlalu menjadi sore dan aku belum mendapatkan apa-apa.”
            Metafora-metafora tersebut, walaupun menunjukkan keterpurukan tokoh perempuan namun tetap dikemas secara sopan oleh pengarang laki-laki. Sehingga, pemihakkan laki-laki pada jenisnya dalam drama ini tidak terlihat secara nyata. Sungguh pengarang sangt lihai menyembunyikan sesuatu.
            Selain itu, untuk mengetahui gaya bahasa pengarang laki-laki pada tokoh perempuan dapat kita melihat pada keberadaan symbol dalam dialog sekaligus untuk mengetahui makna dari setiap dialog yang ditentukan oleh pengarang laki-laki pada setiap tokoh perempuannya dalam karyanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jan Van Luxemberg dkk (1991:59-69) pada bagian awal tadi bahwa penggunaan simbol dapat dilihat dalam tiga bidang yakni pilihan kata, pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan bentuk semantis. Sebagai contoh, dalam makalapenulis akan bentuk semantik.
Bentuk semantik ini merujuk pada pamakaian majas dalam mengkonstruksi simbol. Dalam drama Pagi Bening, Waktu Perempuan, dan Malam Terakhir ini, simbol dibentuk oleh majas metafora (Aku sudah hamper kering. Mengapa kamu tidak mengalir dengan wajar, kamu bisa makan debu tanganmu dan minum keringatmusendiri.(Waktu perempuan: adegan 2)). Juga berupa majas  ironi yang dapat kita lihat pada potongan dialog (Bayang-bayangnya melengkung, bayang-bayang itu hilang dalam kelam malam.(Malam Terakhir)).
Mengenai dialog yang bermakna, simbol pun dikemas dalam dialog yang bermakna dengan syarat percakapan yang bermakna seperti kuantitas, dialog tidak bertele-tele, informatif sesuai dengan keperluan, tidak berlebihan dan tidak cerewet. Dialog padat, tidak menggurui dan menjelas-jelaskan yang tidak perlu. Dalam tingkat kualitas, dialog menyampaikan kebenaran-kebanaran sastrawi dengan data-data kuat. Masalah relasinya, yakni menyampaikan apa-apa yang relevan. Dan yang terakhir masalah sikap, para tokoh-tokoh perempuan dalam ketiga drama ini betul-betul dijaga oleh pengarang dan ditempatkan sesuai dengan posisinya yang tak pernah lari dari unsure-unsur kesopanan dalam berbahasa. Pengarang menghindari ambiguitas dan kesamaran ucapan. Untuk contoh bisa dilihat dalam kutipan-kutipan dialog berikut.
“Laura: Pergilah, tapi jangan lebih dari sepuluh menit!
Petra: Baik, Senora (berjalan ke kanan)
Laura: Hei, nanti dulu!
Petra: Ada apa lagi, Senora?
Laura: Berikan remah-remah roti itu!” (Pagi Bening)
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa unsure-unsur kesopanan tak pernah dihilangkan oleh pengarang.
KESIMPULAN
            Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang pengarang laki-laki dalam tiga naskah drama ini Pagi Bening, Waktu Perempuan, dan Malam Terakhir tetap menempatkah tokoh utama perempuan yang menjadi tokoh utamanya secara baik. Tak ada pemihakan pad jenis yang sama. Adapun pada drama Waktu Perempuan yang terdapat penindasan pada nasip tokoh perempuan, namun itu bukan pada pemberian gaya bahasa melainkan pada nasib tokoh perempuan. Adapun symbol-simbol yang dimunculkan oleh pengarang dalam setiap dialognya dikemas dalam bahasa yang sopan dan halus sebagai cirri utama dari bahasa perempuan. Dengan pemilihan majas atau gaya bahasa yang tepat seperti majas metafora dan ironi yang diletakkan sesuai dengan masalah yang dimunculkan oleh pengarang.
            Dengan ketidak berpihakkan pengarang laki-laki pada gender dalam pemberian gaya bahasa pada tokoh-tokohnya, maka dalam melihat atau mencari makna kita tidak begitu terkecok. Hal ini disebabkan karena makna kata itu dapat kita lihat dengan tanpa terkecok atau muncul secara ambiguitas dalam suatu percakapan. Sehingga ada kepuasan tersendiri bagi siapa saja yang menikmatinya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Drama Indonesia. Ciputat: Editum.
Hidayat, Ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda Sejumlah Telaah. Kendari: FKIP                Unhalu.
Ikmal, Royal. Waktu Perempuan.
Mishima, Yukio. Malam Terakhir.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar                                     
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero. Pagi Bening.
Welleck, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta :
Gramedia, 1990.v
Ws, Hasanuddin. 1996. Drama, Karya dalam Dua Dimensi Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dikomen aja ya!
sesungguhnya komentar teman-teman sangat membantu perbaikan isi blog ini. hehehe.... Terima Kasih ^_^