Kamis, 21 November 2013

Tentang Iman

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
hai teman smua kali ini aku mempostingan tugas kuliah yang kemarin (10 november 2013) diperdebatkan dalam ruang perkuliahan dan dilanjutkan di dunia maya. semoga bisa bermanfaat. but, maaf alasannya tdk dpt menampilkan tulisan alqurannya hehehe... selamat mebaca!

IMAN PADA QADHA QADAR DAN NASIB MASA DEPAN
Oleh
Betwan
betwan.betty@ymail.com
Pendahuluan
            Iman kepada qadha dan qadar atau yang kebanyakan orang mengenalnya dengan istilah takdir, selalu menjadi perdebatan publik. Tak sedikit perdebatan ataupun pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat masalah ini diangkat dalam suatu diskusi. Bagi umat Islam, takdir merupakan bagian dari aqidah karena hal ini berhubungan dengan iman pada qadha dan qadar yang merupakan kata yang berasal dari qadar (ukuran). Pemahaman akan takdir ini menentukan arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
            Beriman kepada qadha dan qadar Allah  adalah rukun keenam dalam rukun iman. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril As. tentang iman, beliau bersabda, yang artinya: “Engkau beriman kepada Allah , para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari 1/19-20, dan Muslim 1/37)[1]
            Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa yang terjadi, baik dan buruk,  itu adalah atas qadha dan qadar Allah . Seperti firman-Nya,
Artiya: Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.”(Q.S. Al-Hadid: 22)[2]
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia sebelum diciptakan, Allah  telah menentukan ketetapan-ketetapan bagi makhluk-Nya dalam  lauh mahfudz. Segala yang terjadi pada alam dan manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah . Tugas manusia adalah berusaha dan berikhtiar atas usahanya.
Hal ini juga diperjelas dengan hadits shahih dari hadits arba’in an nawawiah bagian keempat tentang siklus penciptaan manusia dan misteri nasib bahwa,
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan, Rasulullah , beliau adalah sosok yang jujur dalam menyampaikan berita, beliau menceritakan kepada kami, “Masing-masing kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari sebagai segumpal mani,kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian malaikat diutus padanya dan ia ditiupkan roh, dan ia diperintahkan perihal empat, untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara ataukah bahagia. Demi zat yang tiada sesembahan yang lain selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang tercatat mengamalkan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dia dan surga melainkan hanya sehasta. Lantas takdir mendahuluinya sehingga ia mengamalkan amalan penghuni neraka dan ia memasukinya. Dan sungguh di antara kalian ada yang melakukan amalan penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dan neraka melainkan hanya sehasta. Lantas takdir mendahuluinya dan ia pun mengamalkan amalan penghuni surga dan ia memasukinya.” (Bukhari 3208 dan Muslim 2643)[3]

Sejak dalam rahim ibu, manusia telah dituliskan empat hal akan nasibnya, yakni rezeki, ajal, amal, dan bahgia ataukah sengsara. Hal itu sudah dituliskan oleh Allah  , manusia tinggal mengontrolnya, mengemudikannya ke arah yang sesuai dengan akal dan ilmunya. Surga dan neraka dalam hal ini adalah pilihan manusia itu sendiri sebagai hamba Allah .
Dengan meyakini qadha dan qadar Allah , lantas apakah kita harus pasrah begitu saja? Pasrah bahwa semua nasib dan perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah . Tidakkah kita berpikir tentang siapakah yang menakdirkan manusia itu? Siapa yang tau bahwa kita manjadi petani, pedagang, bahkan penjahat, siapa jodoh kitabagaimana rezki kita, dan lain sebagainya? Tidak ada seorang pun yang tau. Untuk itu alangkah naifnya kalau kita pasrah begitu saja. Pasrah berarti menunggu takdir, sedangkan takdir itu tidak kita ketahui. Sikap hidup ialah mencari takdirartinya berusaha dengan sekuat tenaga melalui berbagai cara yang ditunjukkan Allah  untuk menentukan nasib kita sendiri (dengan berikhtiar). Sebagaimana Allah  berfirman,

Artinya:
 “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah AllahSesungguhnya Allah  tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak dapat yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”(Q.S. Ar-Ra’du:11)[4]
Banyak kasus di masyarakat yang unik tentang takdir, kadang membuat sebagian orang memilih untuk menunggu takdir dibandingkan berusaha untuk memaksimalkan dalam kebaikan takdir tersebut. Misalnya, Kasus kecelakaan mobil atau motor karena ban pecah, tabrakan, rem blong, terkadang sipenderita kasus tersebut akan berkata, “Mungkin sudah takdirnya.” Padahal itu semua mengikuti aturannya. Ban pecah, bisa terjadi karena tertusuk paku atau tekanan udaranya kurang atau umur bannya sudah tua. Jadi, bukan Allah yang memecahkannya, aturan Allah lah yang membuat hal itu terjadi. Kasus kecelakaan lainnya, seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kapal tenggelam, semuanya pasti ada sebabnya, dan biasanya karena adanya sunnatullah yang dilanggar. Tapi dari itu, kita seolah-olah ditegur oleh Allah agar melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan dan ukuran yang telah ditetapkan.
Dalam urusan rezeki, Islam memerintahkan untuk bekerja keras. Ingin kaya, ya bekerja keras. Ingin urusan rezeki lancar, carilah jalan masuknya rezeki yang baik. Karena, biasanya, urusan rezeki ini berbanding lurus dengan besarnya usaha apa yang dikerjakan dan pada siapa kita bekerja. Harus disesuaikan tujuan dan rencana awal saat melangkah agar hasilnya jadi maksimal. Kalau misalkan sampai saatnya mati belum juga kaya, setidaknya kita sudah berusaha untuk mencari kualitas hidup yang lebih baik. Meksipun ada juga kasus-kasus datangnya rezeki dari arah yang “tidak bisa diduga”, tapi biasanya, hal tersebut juga terjadi dari usaha yang kita lakukan sebelumnya. Misalnya, kita sering menolong orang lain, atau berbuat baik kepada orang lain. Sebagai rasa terima kasih, orang yang ditolong tersebut memberikan uang atau rezeki lainnya kepada kita. Itu pun, pada dasarnya, akibat usaha kita juga.
Terakhir, untuk urusan jodoh, memang “sepenuhnya” karena keputusan Allah. Biasanya, untuk kasus jodoh ini, campur tangan Allah dirasakan sangat besar. Karena, kadang, sebesar apa pun usaha yang kita lakukan, kalau memang orang yang kita incar tidak suka, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, urusan hati ini, hanya Allah saja yang bisa membolak-balikkannya, tentu saja dengan caraNya yang terkadang tidak bisa kita mengerti. Tapi, tetap saja, orang-orang yang berikhtiar lebih keras, cenderung lebih cepat mendapatkan jodohnya daripada orang-orang yang menunggu datangnya jodoh. Karenanya, kita pun harus introspeksi diri, seberapa besar usaha kita untuk mendapatkan jodoh tersebut. Atas dasar inilah sehingga penulis tertarik untuk mengambil sebuah judul “Iman pada Qadha Qadar dan Nasib Masa Depan” untuk dibahas dalam makalah ini.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah hakikat iman pada qadha dan qadar?
2.      Apakah beriman kepada qadha dan qadar termasuk rukun iman?
3.      Bagaimanakah keimanan tersebut jika dikaitkan dengan kehidupan masa depan?


Pembahasan
A.    Hakikat Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Membenarkan dengan hati, maksudnya menerima segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah Mengikrarkan dengan lisan, maksudnya mengucapkan dua kalimah syahadat, tidak ada sesembahan yang haq selain Allah  dan bahwa Muhammad  adalah utusan-Nya. Mengamalkan dengan anggota badan, maksudnya hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan sedangkan anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.[5]
Dalam alquran, Allah  berfirman,
Artinya: “Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah kepada mereka, “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah,”Kami telah tunduk (Islam) karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan Jika kamu taat kepada Allah  dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalmu. Sungguh Allah  Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”” (QS. Al Hujurat: 14)[6][7]

Ayat ini (QS. Al Hujurat: 14) menjelaskan bahwa kata iman memiliki arti pembenaran di hati dan keyakinan yang mendalam dengan pernyataan lisan tentang kebenaran yang dibawa oleh Muhammad  dan berbuat baik dengan cara mempraktikan dalam ajaran-ajaran yang dibawanya. Selain itu, dalam ayat lain Allah  berfirman,
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah , genetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, yakni orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al Anfal: 2-4)[8][9]

Firman Allah  tersebut (QS. Al Anfal: 2-4) menegaskan lagi bahwa iman itu adalah sebuah pembenaran yang benar-benar dari hati terdalam hingga hatinya bergetar ketika mendengar nama-Nya disebut. Apalagi setelah dibacakan ayat-ayatnya maka bertambalah keimanan itu yang dibuktikan dengan amal dalam kehidupan sehari-harinya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka itulah orang-orang yang bertawakal kepada Allah . Mereka tidak mengharapkan selain Dia, tidak menuju kecuali kepada-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang memiliki sifat selalu mengamalkan amal ibadah yang disyariatkan, seperti shalat dan zakat. Tentunya dengan amal atas keimanan ini, tidaklah disangsikan  untuk pelisanan keimanan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang sejati dalam keimanan baik dalam i’tiqad maupun amal perbuatan.
Sabda Rasulullah  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan abu Hurairah, ia berkata bahwasanya Rasulullah  bersabda, yang artinya: “Iman itu tuju puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih, tapi yang paling utama adalah ucapan “la illaha illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (gangguan) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, 1/63)[10]
Hadits ini menjelaskan bahwa iman itu terdiri atas cabang-cabang yang beragam. Setiap cabang adalah bagian dari iman yang keutamaannya berbeda-beda yang paling tiggi dan paling utama adalah ucapan “la illaha illallah”. Cabang-cabang sesudahnya secara berurutan dalam nilai dan fadhilahnya sampai pada cabang yang terakhir yaitu menyingkirkan gangguan dan rintangan dari tengah jalan. Adapun cabang-cabang antara keduanya adalah shalat, zakat, puasa, dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakal, takut kepada Allah , dan sebagainya yang semuanya itu dinamakan iman. Sejalan dengan pengamalan cabang-cabang iman itu, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, iman bisa bertambah dan bisa berkurang.
Jadi, hakikat dari iman adalah suatu pembenaran dari dalam hati yang diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan sehari-hari. Seperti shalat, zakat, puasa, dan amalan-amalan ibadah lainnya termasuk malu, tawakal, dan takut kepada Allah . Iman dapat bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.

B.     Hakikat Iman pada Qadha dan Qadar
1.      Qadha
Qadha menurut bahasa memiliki beberapa makna yang berbeda menurut perbedaan struktur kalimatnya, di antaranya berarti hukum, memutuskan, perintah, dan kabar.[11]
a.       Hukum, maksudnya menghukumi, memutuskan. hal ini dapat dilihat dalam ayat berikut,
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65)[12]

b.      Perintah, seperti firman Allah  
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra: 23)[13]

c.       Kabar, seperti firman Allah 
Artinya: Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.(QS. Al Hijr: 66)[14]
Jadi, qadha adalah hukum Allah  yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, Dia jalankan alam semesta ini sesuai dengan konsekuensi hukumNya dari sunnah-sunnah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya. Semenjak Dia menghendakinya sampai selama-lamanya, setiap apa yang terjadi di alam ini berdasarkan takdir yang mendahuluinya.

2.      Qadar
Qadar berasal dari akar kata: Qaddara-yuqaddiru-taqdiran, mempunyai arti: kadar atau ukuran. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah  berikut,
 Artinya “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(QS. Al Baqarah: 20)[15][16]

Qadar atau takdir adalah menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulisnya di lauhul mahfudz.[17] Allah  berfirman,
Artinya: “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fuslihat: 10)[18][19]
            Jadi, qadar adalah ukuran atau kadar sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah  dan dituliskan sebelum masa penciptaan manusia. Di sini manusia akan ditentukan nasib baik dan buruknya berdasarkan usaha dan ikhtiar yang dilakukannya.
Secara umum, takdir dibedakan menjadi empat macam, yakni:
1.      Takdir umum (taqdir azali), yakni segala hal yang telah ditulis mulai dari lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan al-qalam hingga hari kiamat. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al Hadid: 22 dan HR. Muslim 4/2044.
2.      Takdir ‘umuri, yaitu takdir yang telah diberlakukan oleh manusia sejak awal penciptaannya. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al Mu’minun: 14 dan QS. Al Haj: 5 serta dalam HR. Al Bukhari 8/152 dan Muslim 4/36.
3.      Takdir sanawi (tahunan), yaitu takdir yang ditulis pada malam lailatul qadr setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Ad Dukhan: 4-5.
4.      Takdir yaumi (harian), yaitu takdir yang telah dikhususkan dalam satu hari. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Ar Rahman: 29.[20]
            Beriman pada qadha dan qadar adalah rukun keenam dari rukun iman. Takdir adalah satu mata rantai dari untaian tauhid. Beriman kepada sebab-sebab yang menghantarkan kepada takdir yang baik atau yang buruk adalah aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama tanpa adanya iman kepada tauhid dan syariat. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah  saat ditanya oleh Jibril. Makna beriman pada qadar adalah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa yang terjadi, baik dan buruk, itu adalah atas dasar takdir Allah . Yang dapat dilihat dalam firman Allah  (QS. Al Hadid: 22).
            Dari firman Allah  dalam alquran surat Al Hadid ayat 22 membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam semesta dan jiwa manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu telah ditakdirkan oleh Allah  dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa yang tidak didapatkan dari sesuatu yang tidak disukai tidak mengharuskan rasa susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan tidak mengharuskan rasa suka.
            Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata,  saya mendengar Rasulullah  bersabda,
Artinya: “Seandainya Allah menyiksa penduduk langit dan penduduk bumi, tentu Dia menyiksa mereka tanpa berrbuat zalim. Jika Dia merahmati mereka maka rahmatNya adalah lebih baik bagi mereka dari pada amal mereka. Seandainya engkau memiliki emas segunung Uhud atau seperti Gunung Uhud yang engkau belanjakan di jalan Allah, Dia tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakddirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu. Sesungguhnya jika engkau mati atas aqidah selain ini maka engkau masuk neraka.” (HR. Ahmad, 5/185, Ibnu Majjah dan Abu Daud)[21]
            Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah, Rasulullah  bersabda,
Artinya: “Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah, tetapi pada diri masing-masing terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu, dengan memohon pertolongan kepada Allah dan jangan malas. Apabila engkau tertimpa sesuatu maka janganlah engkau mengatakan, ‘seandainya aku berbuat begini tentu hasilnya begini dan begitu’, akan tetapi ucapkanlah, ‘Allah telah menakdirkan dan apa yang telah Dia kehendaki Dia laksanakan.’ Karena kata ‘andaikata’ itu akan membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim, 4/2052)[22]
Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang telah diketahui olehNya. Allah tidak menciptakan kejelekan yang murni, yang tidak melahirkan suatu kemaslahatan. Maka kejelekan dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya dari sudut pandang keburukan yang murni, akan tetapi ia masuk dalam rentetan makhlukNya. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah adalah hikmah dan rahmat. Hal ini ditunjukan dengan firmanNya,Artinya: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.(QS. An Nisaa’: 79)[23][24]
Maksudnya, segala kebaikan yang diterima manusia hakikatnya berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah karena dosa dan kemaksiatannya. Tidak ada seorang pun yang bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah. Tidak ada yang trjadi di dalam kerajaaNya melainkan apa yang dikehendakiNya. Dia telah menganugerahkan kemampuan pada manusia untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya terjadi atas kemampuannya dan kemauannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena hikmahNya. Dia tidak ditanya apa yang dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatan mereka.[25]

C.    Iman pada Qadha Qadar sebagai Rukun Iman
Secara singkat agama Islam dapat disimpulkan dalam dua kalimat pendek, laa illaha illallah dan muhamadarrasulullah,, artinya tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammmad adalah utusan Allah. Hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat itu, seseorang telah dinyatakan  Islam. Walaupun untuk menyempurnakannya masih membutuhkan beberapa syarat lain. Hal inilah yang dikatakan dengan rukun iman.[26]
Rukun iman adalah sesuatu yang menjadi tegaknya iman. Dalam alquran surat Al Baqarah, Allah  berfirman,
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 177)[27]

Dalam ayat ini, Allah  menjelaskan secara terang bahwa manusia  diwajibkan untuk beriman pada yang lima (Kepada Allah, malaikatNya, kitabNya, nabiNya, dan hari akhir ) saja. Akan tetapi, karena landasan hidup Islam bukan hanya pada alquran, melainkan juga pada al hadits, yang mengatakan bahwa kita harus beriman kepada qadla dan qadar berupa ketetapan takdir manusia dariNya, yang baik maupun yang buruk. Dalilnya adalah jawaban Rasulullah  ketika Jibril bertanya kepadanya tentang iman, yang artinya: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al Bukhari, 1/19,20 dan Muslim, 1/37).[28] Sehingga rukun iman dibagi menjadi enam, yakni:
1.      Iman kepada Allah .
2.      Iman kepada para malaikat.
3.      Iman kepada kitab-kitab Allah.
4.      Iman kepada nabi Allah.
5.      Iman kepada hari akhir.
6.      Iman kepada qadha dan qadar (takdir Allah , yang baik maupun yang buruk).[29]
Kewajiban mengimani qadha dan qadar sesuai redaksi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa, “... Dan diperintahkan untuk menetapkan empat ketentuan rezekinya...” maka iman pada qadha dan qadar mencakup empat tingkatan, yakni:
1.      Mengetahui, kita menyadari bahwa Allah mengetahui segala-galanya. Sesuai firmanNya dalam alquran surat An Nisa’: 11 yang artinya, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2.      Beriman bahwa Allah mencatat takdir segala sesuatu dalam lauhul mahfudz. Hal ini dapat dilihat dalam alquran surat Al Hajj: 70 yang artinya, “Bahwasanya yang sedemikian itu terdapat dalam kitab (lauhul mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” Dan sabda nabi  , “Allah menetapkan ketentuan makhlukNya lima ribu tahun sebelum mencipta langit dan bumi.”(HR.Muslim)
3.      Kehendak, maksudnya tidak terjadi sesuatu di langit dan di bumi selain dengan kehendakNya, “Sesungguhnya kami menciptakan sesuatu menurut ukuran (qadarnya).” (QS. Al Qamar: 49)
4.      Penciptaan, maksudnya segala sesuatu yang  ada di langit dan di bumi adalah ciptan Allah “dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya serapi-rapinya.”(Al Furqan: 2)[30]
Jadi, dengan adanya beberapa pernyataan di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa iman pada qadha dan qadar masuk dalam kategori rukun iman.

D.    Iman pada Qadha Qadar dan Nasib Masa Depan
Qadha dan Qadar seringkali disebut sebagai “takdir”. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang akar katanya: Qadla-yaqdli-qadlaan, memiliki arti hukum, keputusan, perintah, kehendak, ciptaan menurut kadar, ukuran, ketentuan, aturan, kekuasaan. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah  telah ditentukan pula hukum dan ukuran kadarnya oleh Dia. Seperti firmanNya dalam alquran surat Fuslihat ayat 10, berikut.
Artinya: “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fuslihat: 10)[31][32]
Iman kepada qadha-qadar Allah  artinya percaya bahwa segala hukum, keputusan, perintah,  dan ciptaan tidak lepas (selalu berlandasan) pada kadar, ukuran, ketentuan, aturan, dan kekuasaan Allah . Kewajiban kita beriman kepada qadha-qadar ini diatur dalam banyak ayat dalam alquran agar kita terus berusaha dan berikhtiar dalam menjalani kehidupan ini, tidak berputus asa, dan mudah menyerah. Takdir pada hakikatnya adalah pertemuan antara Allah, alam, dan manusia. Artinya Allah sebagai pencipta segala makhluk dan segala sesuatu yang bergantung pada makhluk itu. Manusia adalah makhluk yang dilimpahi akal untuk berpikir sehingga dapat mengolah atau mengemudikan roda takdir yang melekat pada dirinya. Sedangkan alam menjadi penyeleksi segala sesuatu yang dinamakan dengan sunatullah. Barang siapa yang berhasil mengelolanya maka dia telah mendapatkan hidayah taufiki dari Allah .
Manshur Abdul Hakim dalam bukunya (Agar Selalu Menerima Takdir dari Allah), mengatakan bahwa, “Andai seorang hamba bisa memahami dan menerima takdir Allah, kebahagiaan, kesedihan, dan suka dukanya dalam hidup tak akan mampu menghalanginya untuk selalu bersyukur kepada Allah.” Sungguh takdir Allah selalu membawa kebahagiaan, tetapi dangkalnya iman, piciknya akal, dan ciutnya nyali telah mengaburkan hakikat takdir. Seharusnya karena itu tercipta karena kehendak Allah, yakinlah akan pertolongan dan kehendak Allah. Keinginan manusia untuk selalu hidup bahagia dan menghindari kesengsaraan menandakan ia belum menerima takdir Allah. Padahal sesungguhnya musibah membuka mata batin, air mata penjernih penglihatan, dan kesedihan mengajari bahasa hati. Bisa jadi takdir membukakan pintu hati menuju ampunanNya.
Jadi, dari uraian di atas, kita dapat mengambil berbagai pelajaran mengenai rukun iman yang merupakan fondasi dari sistem aqidah Islam. Uraian ini bisa membuat kita lebih memperkokoh aqidah kita untuk  mengatasi berbagai penyimpangan oleh orang yang tidak bertanggungjawab yang ingin menghancurkan Islam. Karena segala ketentuan adalah datangnya dari Allah dan usaha jatah manusia. Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya dinamakan hasil usahanya sendiri, tetapi jika ditilik dari segi kekuasaan Allah  maka perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah . Manusia hanya dapat mengolah bagian yang dikaruniakan kepadanya berupa rizki dan lain-lain. Manusia patut mengikuti hukum-hukum Allah dengan menggunakan akal pikiran yang dikaruniakan padanya agar dapat mengontrol takdir yang telah dituliskan olehNya. Manusia harus selalu berdoa dan berikhtiar dan tidak pasrah begitu saja pada takdirnya.

Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab II makalah ini, didapatkanlah beberapa kesimpulan berikut.
1.      Qadha adalah hukum Allah  yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, Dia jalankan alam semesta ini sesuai dengan konsekuensi hukumNya dari sunnah-sunnah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya. Semenjak Dia menghendakinya sampai selama-lamnya, setiap apa yang terjadi di alam ini berdasarkan takdir yang mendahuluinya. Sedangkan qadar adalah penentuan nasib baik dan buruk oleh Allah sesuai dengan pilihan dan ikhtiar manusia.
2.      Beriman kepada qadla dan qadar berupa ketetapan takdir manusia dariNya, yang baik maupun yang buruk. Dalilnya adalah jawaban Rasulullah  ketika Jibril bertanya kepadanya tentang iman, yang artinya: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al Bukhari, 1/19,20 dsn Muslim, 1/37). Sehingga beriman pada qadla dan qadar termasuk dalam kategori rukun iman yang keenam.
3.      Rukun iman merupakan fondasi dari sistem aqidah Islam. Hal ini lebih memperkokoh aqidah kita untuk  mengatasi berbagai penyimpangan oleh orang yang tidak bertanggungjawab yang ingin menghancurkan Islam. Karena segala ketentuan adalah datangnya dari Allah dan usaha jatah manusia. Perbuatan manusia ditilik dari segi kuasanya dinamakan hasil usahanya sendiri, tetapi jika ditilik dari segi kekuasaan Allah  maka perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah . Manusia hanya dapat mengolah bagian yang dikaruniakan kepadanya dengan pemikiran dan ikhtiarnya sendiri. Manusia patut mengikuti hukum-hukum Allah dengan menggunakan akal pikiran yang dikaruniakan padanya agar dapat mengontrol takdir yang telah dituliskan olehNya. Manusia harus selalu berdoa dan berikhtiar dan tidak pasrah begitu saja pada takdirnya.

DAFTAR RUJUKAN
Ali, Maulana Muhammad. 1976. Islamologi (Dinul Islam). Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.

Al-Jaelani, Syaikh Abdul Qadir. 2006. Menjadi Kekasih Allah. Yogyakarta: Citra Media.

Fikriono, Muhaji. 2013. Al-Hikam Ibn ‘Athalaillah untuk Semua (Menemukan Kesadaran dan Pelita Hidup). Jakarta: Mizan.

Hakim, Manshur Abdul. 2006. Agar Selalu Menerima Takdir Allah (Seri”Belajar dari Mereka”). Jakarta: Maghfirah Pustaka.

Kementrian RI. 2012. Alquran dan Terjemahannya. Bandung: CV Media Fitrah Rabbani.

Nawawi, Imam. 2010. Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiah. Solo: As-Salam Publishing.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Shihab, Quraish. 2013. Lentera Alquran (Kisah dan Hikmah Kehidupan).Bandung: Mizan.

Tim Ahli Ilmu Tauhid. 2012. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq.











[1] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq, 2012, hlm.158.
[2] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 540.
[3] Imam Nawawi, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Solo: As-salam Publishing, 2010, hlm. 39-40.
[4] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 250.
[5] Ibid., hlm. 2.
[6] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 517.
[7] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996, hlm. 141.
[8] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 177.
[9] Muhaji Fikriono, Al-Hikam Ibn ‘Athalaillah untuk Semua (Menemukan Kesadaran dan Pelita Hidup)., hlm. 223.
[10] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 6.
[11] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit.,hlm. 157.
[12] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 88.
[13] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 284.
[14] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 265.
[15] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009, hlm. 21.

[16] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 4.
[17] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 158.
[18] Ibid.
[19] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 477.
[20] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 168-172.
[21] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 160.
[22] Ibid., hlm. 161.
[23] M. Quraish Shihab, Lentera Alquran(Kisah dan Hikmah Kehidupan), Bandung: Mizan, 2013, hlm. 77.
[24] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 90.
[25] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 162.
[26] Maulana Muhammad Ali, Op.Cit., hlm.152.
[27] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 27.
[28] Tim Ahli Ilmu Tauhid, Op.Cit., hlm. 158.
[29] Ibid.
[30] Imam Nawawi, Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Solo: As-salam Publishing, 2010, hlm. 42.
[31] Ibid.
[32] Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Bandung: CV Media Fitra Rabani, 2012, hlm. 477.

7 komentar:

  1. ustazah: sy mw brtanya, "apakah perbuatan buruk yang dilakukan seseorang -misalnya korupsi, membunuh, merampok, brzina- merupakan bagian dari kehendak Allah Swt. jg yang tertulis dalam kitab lauhmahfuz?

    BalasHapus
    Balasan
    1. apa? ustazah? bukan z itu lif ckckc...
      bukan. dalam sebuah hadits dikatakan bahwa dalam kitab lauh mahfuz Allah telah menetapkan 4 perkara, yang diakatakan sebagai ketentuanNya. Namun manusialah yang berjatah untuk memaksimalkan semua yang telah Allah tentukan (pilih yang baik atau yang buruk karena surga dan neraka itu jelas adanya). hal ini dikarenakan Allah telah menganugerahi manusia akal dan pikirn untuk memilih jalan mana yang harus ditempuhnya. wallahu'alam bi sawab...

      Hapus
  2. sedikit banyak menambah wawasan spiritual... good..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah...:)
      makassih sudah mau membaca sobat.

      Hapus
    2. terimakasihnya dikadokan saja.. Ok

      Hapus
  3. terimakasihnya dikadokan saja... ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahha.... dari kemarin z mw bawakan kadomu tapi kamu kuliah eee. tetapjii z akan simpan ni kado semoga tdak basi wkwkwkw

      Hapus

Dikomen aja ya!
sesungguhnya komentar teman-teman sangat membantu perbaikan isi blog ini. hehehe.... Terima Kasih ^_^